Menjelang penghujung 2016, realita terjadi di Bandung yakni kejadian banjir yang menyergap beberapa titik di seputaran Bandung. Berita demi berita tentang banjir terutama di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung cukup menyita perhatian masyarakat luas. Tak terkecuali hal tersebut berimbas pada wisatawan yang ingin melancong ke Bandung. Mau tak mau, kejadian banjir di beberapa kawasan di Bandung turut mempengaruhi pada sektor wisata.
Sambil menunggu tindakan pemerintah di Bandung dalam menangani masalah banjir ini, kami ajak para pembaca untuk mengenal bagaimana karakteristik serta istilah seputar banjir. Ya, hitung-hitung belajar mengenal bahasa Sunda sambil dihubungan dengan berita kekinian.
Caah, Caah Cileuncang, dan Caah Déngdéng
Banjir dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah caah. Caah ini pun terbagi-bagi dalam beberapa istilah, ada caah itu sendiri, caah cileuncang, dan caah déngdéng. Yang disebut caah merujuk pada istilah banjir secara umum. Namun sekarang lebih pada istilah untuk menunjukkan banjir yang besar. Misalnya caah yang terjadi rutin saban musim hujan di Bandung Selatan (Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang). Penduduk di Bandung selatan pun rumahnya banyak yang kacaaahan (kebanjiran).
Lalu, caah cileuncang atau banjir cileuncang, ini merujuk pada banjir yang hanya sementara atau hanya genangan saja. Contohnya yang biasa terjadi saat hujan turun dan air pun menggenangi jalanan atau kawasan perumahan namun saat hujan reda, air pun surut. Oleh orang tua zaman dulu, banjir cileuncang biasanya diidentikan menyebarnya penyakit. Oleh karena itu, anak-anak biasanya dilarang bermain air cileuncang karena banyak jaram (kuman).
Adapun caah déngdéng dalam bahasa Indonesia dikenal dengan 'banjir bandang'. Inilah banjir tiba-tiba yang datang dari hulu sungai ke daerah hilir. Bisa saja saat kawasan bawah (hilir) tidak hujan, namun tiba-tiba banjir menerjang karena di hulu hujan lebat. Banjir jenis ini biasanya sangat membahayakan, terutama bagi yang tinggal di daerah pegunungan atau yang sedang mengunjungi sungai atau air terjun. Selain aliran airnya derah, banjir ini pun kerap meluluhlantahkan apa saja yang dilewati dan sulit untuk diprediksi apalagi dikendalikan.
Banjir di kawasan Pagarsih yang menghanyutkan mobil kemarin, bisa dikategorikan caah déngdéng. Kiriman air Sungai Citepus dari kawasan Bandung Utara (KBU) volumenya sangat besar sehingga tak tertahan saat melewati Pasteur dan Pagarsih. Hal ini diperparah dengan saluran sungai yang sempit dan banyaknya "tanaman" beton yang tidak ramah pada aliran air. Banjir yang menghantam permukiman di bantaran Sungai Cimanuk, Garut pun termasuk caah déngdéng.
Istilah Saat Hujan
Musim hujan dalam bahasa Sunda dikenal dengan usum ngijih dimana hujan hampir setiap hari turun. Sementara sebelum hujan turun, langit akan terlihat angkeub, menandakan langit yang sangat mendung alias akan terjadi hujan ngagebrét (sangat deras). Jika mendung hujan dengan intensitas biasa disebut istilah ceudeum. Lalu, jika terjadi kondisi hujan turun namun disertai matahari disebut hujan poyan (poyan artinya cahaya matahari). Untuk istilah lainnya seputar kondisi cuaca bisa dilihat di sini.
Nama Tempat Ci-
Istilah lainnya yang unik adalah penamaan geografis dengan kondisi alam yakni air. Dalam masyarakat Sunda, air mempengaruhi lingkungan geografis sekaligus dijadikan penanda. Lihat saja bagaimana nama-nama tempat di kawasan Tatar Sunda banyak yang berawalan ci- yang berasal dari cai (air), misalnya di seputaran Bandung sendiri ada nama Cicalengka, Cikudapateuh, Cimenyan, Cidurian, Cieunteung, Cihampelas, Cibaduyut, Cimahi, Cigondewah, Cipaku, Ciateul, Cicendo, Cihideung, Cisitu Ciroyom, Cilaki, Cigadung, Ciumbuleuit, dan lainnya. Itu semua menandakan nama yang (mungkin) berhubungan erat dengan cai (air).
Bojong, Ranca, dan Situ
Lalu, misalnya mengapa Bojongsoang di Kab. Bandung sering banjir? Bojong sendiri mengandung arti tanah yang menjorok ke kawasan perairan (sungai/laut) dan soang artinya angsa. Ini sesuai dengan letak kawasan Bojongsoang yang dekat dengan Sungai Citarum (lama). Ya, walaupun tidak semua kawasan di Bojongsoang terkena banjir, hanya daerah Cigebar dan sekitarnya yang benar-benar persis di bantaran Sungai Citarum.
Tak aneh mungkin jika beberapa kawasan di Bojongsoang kerap terkena banjir karena mungkin dulunya daerah tersebut tempatnya angsa-angsa yang bermain air di dekat Sungai Citarum (yang kini berubah jadi permukiman penduduk). Nama-nama lainnya ada Bojongloa, Bojongkoneng, Bojongmalaka, Bojongkokosan, dan lainnya.
Selain istilah bojong ada juga istilah ranca yang artinya 'rawa'. Beberapa daerah di kawasan Bandung yang dinamai dengan istilah ini ada: Rancaekek, Rancabolang, Rancamanyar, Rancacili, Rancamulya, Rancabali, dll. Lalu, yang paling parah biasa banjir di Cieunteung. Eunteung sendiri artinya 'cermin'. Mungkin dulunya kawasan Cieunteung biasa tergenang air sehingga penduduknya bisa ngeunteung (bercermin) di air dari Sungai Citarum yang dulu kala masih bening tidak seperti sekarang.
Dan untuk urusan banjir, beberapa kawasan di Bandung dulu punya situ (danau) sebagai tempat penampungan air kala musim hujan. Sayangnya, beberapa situ di Bandung kini sudah lenyap. Salah satunya Situ Aksan yang kini jadi perumahan. Mungkin saja efek banjir bandang di Pagarsih bisa karena tak ada lagi situ untuk menampung aliran air dari Bandung utara. Beberapa kawasan yang menggunakan "situ" ada di daerah Bojongloa yakni daerah Situ Gunting dan Situ Saeur (Saeur = ditimbun tanah).
Adapun nama-nama situ yang memang benar-benar danau dan kini masih ada, di antaranya: Situ Patenggang, Situ Ciburuy, Situ Cileunca, Situ Cisanti (hulu Sungai Citarum), Situ Lembang, Situ Umar (Floating Market Lembang), dan lainnya.
Istilah lainnya:
raat = hujan reda
mudal = air meluap
leutak = lumpur
kakeueum = tergenang
kabawa palid = terbawa arus
ngojay = berenang
tilelep = tenggelam
jero = (air) dalam
déét = (air) dangkal
walungan = sungai
runtah = sampah
taneuh urug = tanah longsor
0 Response to "Mengenal Istilah Seputar Banjir dan Musim Hujan dalam Bahasa Sunda "
Posting Komentar